Ciamis Pos – Ketegangan antara Amerika Serikat dan negara-negara Eropa semakin meningkat seiring dengan perubahan kebijakan luar negeri di bawah pemerintahan Presiden Donald Trump. The Washington Post melaporkan bahwa kebijakan Washington yang tidak konsisten telah melemahkan fondasi kerja sama yang selama ini menyatukan kedua belah pihak.
Tiga tahun setelah invasi Rusia ke Ukraina yang sempat memicu respons kuat dari negara-negara Barat, kini para pemimpin Eropa justru cemas bahwa kebijakan luar negeri AS akan menghambat persatuan tersebut. Pemerintah Amerika disebut-sebut mendorong penyelesaian konflik dengan Rusia tanpa melibatkan Eropa secara langsung. Selain itu, permintaan Washington agar negara-negara Eropa mengirim lebih banyak pasukan ke Ukraina serta pendekatan Trump terhadap pemimpin sayap kanan telah menimbulkan ketidaknyamanan di kalangan sekutu tradisionalnya.
Dalam Konferensi Keamanan Munich, Wakil Presiden AS JD Vance bersama pejabat lainnya mengisyaratkan bahwa kehadiran militer Amerika di Eropa mungkin akan dikurangi. Pernyataan ini semakin memperkuat kekhawatiran para sekutu NATO yang sebelumnya telah mendapatkan sinyal bahwa Menteri Pertahanan AS, Pete Hegseth, tengah mempertimbangkan penarikan puluhan ribu tentara Amerika dalam beberapa tahun ke depan. Keputusan tersebut menimbulkan pertanyaan besar mengenai komitmen AS terhadap keamanan di kawasan Eropa.
Kekhawatiran semakin meningkat setelah Presiden Trump melakukan panggilan telepon selama 90 menit dengan Presiden Rusia Vladimir Putin tanpa adanya konsultasi terlebih dahulu dengan NATO atau pemerintah Ukraina. Langkah ini dianggap sebagai indikasi bahwa Washington mulai lebih berpihak pada kepentingan Moskow dalam konflik yang masih berlangsung.
Di tengah ketidakpastian yang semakin besar, para pemimpin Eropa mulai meninjau ulang strategi keamanan mereka. Presiden Prancis, Emmanuel Macron, telah menjadwalkan pertemuan dengan sejumlah pemimpin utama Eropa di Paris guna membahas perkembangan terbaru di Ukraina serta ancaman terhadap stabilitas kawasan. Sementara itu, negara-negara anggota NATO terus berdiskusi mengenai langkah-langkah yang perlu diambil untuk menghadapi kebijakan luar negeri AS yang semakin sulit diprediksi.
Kebijakan Washington juga menimbulkan polemik setelah JD Vance bertemu dengan Alice Weidel, pemimpin partai ekstrem kanan Jerman, Alternative für Deutschland (AfD). Pertemuan ini menjadikannya pejabat Amerika dengan peringkat tertinggi yang pernah bertemu dengan partai tersebut. Pidato Vance yang menyinggung partai-partai arus utama Jerman karena mengisolasi AfD pun menuai kritik tajam. Kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa, Kaja Kallas, menilai bahwa tindakan Vance hanya memperkeruh hubungan dengan sekutu. Para pemimpin Eropa lainnya juga menyoroti rekam jejak AfD yang kerap menggunakan retorika nasionalis yang kontroversial.
Di Ukraina, dampak dari kebijakan AS mulai terasa dengan semakin terbatasnya bantuan yang diberikan. Pembekuan bantuan oleh Trump telah menghambat upaya perbaikan infrastruktur energi yang sangat dibutuhkan. Para pejabat Ukraina memperingatkan bahwa jika situasi ini berlanjut, pemadaman listrik yang berkepanjangan dapat memburuk seiring dengan datangnya musim dingin.
Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky, turut mengungkapkan keprihatinannya terhadap sikap AS yang berubah-ubah dalam mendukung Eropa. Ia menegaskan bahwa masa di mana Amerika memberikan dukungan tanpa syarat kepada Eropa telah berakhir.
Di tengah ketidakpastian yang semakin besar, Eropa kini menghadapi tantangan untuk memperkuat otonomi strategisnya di bidang keamanan. Jika kebijakan luar negeri AS terus berubah drastis, negara-negara Eropa mungkin harus mencari pendekatan baru guna menjaga stabilitas kawasan dan memperkuat aliansi mereka sendiri.