Undang-Undang Minerba Terbaru: Ormas Keagamaan dan UKM Bisa Kelola Lahan Tambang Batu BaraSumber: antaranews.com

Ciamis Pos – Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) telah menyetujui perubahan dalam Undang-Undang tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba). Dengan perubahan ini, organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan serta pelaku usaha kecil dan menengah (UKM) kini memiliki peluang untuk mengelola lahan batu bara yang berada di luar wilayah eks Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B).

Sebelumnya, aturan mengenai pengelolaan lahan batu bara oleh ormas keagamaan tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024, yang merupakan perubahan dari PP Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Berdasarkan ketentuan tersebut, ormas keagamaan hanya diperbolehkan mengelola enam Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK), yaitu lahan eks-PKP2B yang sebelumnya dimiliki oleh PT Arutmin Indonesia, PT Kendilo Coal Indonesia, PT Kaltim Prima Coal, PT Adaro Energy Tbk, PT Multi Harapan Utama (MAU), dan PT Kideco Jaya Agung.

Namun, dengan disahkannya Rancangan Undang-Undang (RUU) Minerba menjadi undang-undang, batasan tersebut kini telah dihapus. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, menjelaskan bahwa regulasi baru ini memberikan ruang yang lebih luas bagi ormas keagamaan untuk mengelola tambang, tidak hanya terbatas pada lahan eks-PKP2B. Ia juga menegaskan bahwa keterlibatan ormas keagamaan dalam pengelolaan sumber daya alam bersifat sukarela, sehingga hanya mereka yang memiliki kapasitas dan tertarik yang dapat memanfaatkan kesempatan ini.

Selain ormas keagamaan, UKM juga diberikan hak yang sama dalam mengelola lahan batu bara di luar eks-PKP2B. Dengan adanya perubahan ini, pelaku usaha kecil dan menengah mendapatkan kesempatan untuk turut serta dalam industri pertambangan, sektor yang selama ini lebih banyak didominasi oleh perusahaan besar.

Pada Rapat Paripurna DPR RI Ke-13 Masa Persidangan II Tahun Sidang 2024-2025 yang berlangsung di Kompleks Parlemen, Jakarta, RUU Minerba resmi disetujui menjadi undang-undang. Salah satu perubahan signifikan dalam aturan baru ini adalah adanya perubahan skema pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP). Sebelumnya, izin usaha pertambangan hanya bisa diberikan melalui mekanisme lelang. Namun, dalam aturan terbaru, skema tambahan berupa skema prioritas diperkenalkan. Perubahan ini bertujuan untuk menciptakan keadilan dalam distribusi sumber daya alam bagi berbagai pihak, termasuk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), koperasi, serta badan usaha milik daerah (BUMD).

Dalam pembahasan awal RUU Minerba, sempat muncul wacana untuk memberikan konsesi tambang kepada perguruan tinggi. Namun, setelah melalui berbagai pertimbangan, DPR dan pemerintah memutuskan untuk membatalkan rencana tersebut. Sebagai gantinya, izin WIUP diberikan kepada badan usaha milik negara (BUMN), badan usaha milik daerah (BUMD), serta badan usaha swasta yang memiliki kepentingan dalam mendukung dunia pendidikan.

Selain itu, pemberian konsesi kepada ormas keagamaan dan UKM juga telah menjadi salah satu poin utama dalam revisi UU Minerba. Kesepakatan antara eksekutif dan legislatif memastikan bahwa kedua kelompok ini mendapatkan akses lebih luas dalam pengelolaan lahan tambang, memberikan kesempatan bagi mereka untuk berkontribusi lebih besar dalam sektor pertambangan.

Dengan diberlakukannya regulasi baru ini, pemerintah berharap agar keterlibatan ormas keagamaan dan UKM dalam pengelolaan sumber daya alam dapat membawa dampak positif bagi perekonomian nasional. Selain itu, kebijakan ini diharapkan mampu menciptakan pemerataan ekonomi serta membuka lebih banyak peluang bagi masyarakat yang sebelumnya tidak memiliki akses terhadap sektor pertambangan.

Meskipun kebijakan ini membawa peluang baru, tantangan dalam implementasinya tetap perlu diperhatikan. Salah satu tantangan utama adalah kesiapan ormas keagamaan dan UKM dalam mengelola lahan tambang secara profesional dan sesuai dengan standar keberlanjutan. Oleh karena itu, pendampingan dari pemerintah serta pengawasan yang ketat menjadi faktor penting agar kebijakan ini dapat berjalan dengan baik dan tidak menimbulkan masalah di kemudian hari.

Keputusan untuk memperluas akses pengelolaan tambang ini merupakan langkah progresif dalam kebijakan pertambangan nasional. Jika diterapkan dengan transparansi dan pengawasan yang baik, regulasi ini berpotensi membawa manfaat besar bagi berbagai pihak tanpa mengorbankan kelestarian lingkungan serta kepentingan nasional.

By admin 2

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *